Jakarta, CNN Indonesia --
Asal ada dana, turis bisa dengan mudah memilih beragam jenis tempat penginapan
kota-kota besar Indonesia.
Tapi di Provinsi Anbar,
Irak, tak ada hostel maupun hotel yang bisa didatangi, karena bangunan tersebut
telah dihancurkan oleh kelompok ISIS saat melakukan serangan ke kawasan ini
pada dua tahun yang lalu.
Saat ini, kelompok ISIS
sudah terusir dari pusat kota Irak. Sejumlah pengusaha lokal mulai melirik
bisnis tempat penginapan. Mereka berharap, kedatangan turis bisa kembali
menggairahkan sektor pariwisata kawasan ini.
"Saat saya datang ke
Ramadi, saya terkejut karena sama sekali tidak ada hotel di ini," kata
Karim al-Basrawi, sales penjualan aksesori mobil dari Basra yang datang untuk
perjalanan bisnis.
Karim lanjut mengatakan,
kalau ia sampai mengetuk pintu rumah warga untuk mendapat informasi mengenai
tempat penginapan.
Yang membuat Karim
terkejut, warga yang membuka pintu rumahnya menerimanya dengan hangat, meskipun
dirinya pemeluk Syiah dan mereka pemeluk Sunni, sama seperti sebagian besar
warga di Anbar.
"Mereka malah
menawarkan saya untuk bermalam. Mereka juga membuatkan saya makan malam,"
ujar Karim.
Menghormati Tuhan
"Keramahan adalah hal
penting bagi kami. Kami menghormati tamu sama seperti kami menghormati
Tuhan," kata Syekh Mohammad Khalef al-Shaabani, salah satu tokoh
masyarakat yang tinggal di Ramadi.
Mengenai rencana
pembangunan hotel, Mohammad Khalef merasa hal tersebut tak diperlukan, karena
warga mau membuka pintu rumahnya untuk pendatang. Warga juga bakal
memperlakukan tamu dengan ramah.
"Kami melakukan
segalanya untuk menyambut tamu, saya pribadi tak merestui pembangunan hotel di
sini," kata Mohammad Khalef.
"Saat membangun
rumah, bahkan kami telah berpikir untuk membuat diwaniya (ruang tamu) yang
besar. Kami tak ambil pusing jika harus tidur dalam satu kamar
beramai-ramai," lanjutnya.
Senada dengan Mohammad
Khalef, Omar al-Nimer juga mengatakan demikian.
Dirinya hanyalah seorang
tukang cukur rambut, namun ia mengaku bakal menyambut tamu yang datang ke
rumahnya dengan totalitas.
"Tradisi ini sudah
dilakukan oleh keluarga saya sejak turun temurun. Contohnya, jika ada orang
yang tersesat, kami akan memintanya untuk bermalam sebelum dia melanjutkan
perjalanan. Kalau kami tak menawarkan hal tersebut, kami akan dicap buruk oleh tetangga,"
kata Omar.
Antropologis asal
Perancis, Dawood Hosham, mengatakan kalau tradisi yang dilakukan masyarakat
Irak ini sangat mengesankan.
"Dalam situasi ini,
rasanya pendatang jadi tak begitu membutuhkan hotel, karena warga sudah
menyambut mereka dengan begitu hangat. Tak hanya di Ramadi, tradisi ini
dilakukan di kawasan Irak lainnya," kata Hosham, yang juga menulis buku
'The Tribes and Power in the Land of Islam'.
Tradisi pemersatu
Di pusat kota Ramadi,
terlihat konstruksi bangunan hotel yang proyeknya mangkrak sejak pertama kali
dicanangkan pada tahun 2013.
Proyek tersebut terhenti
setelah kelompok ISIS memborbardir kawasan ini setahun setelahnya.
Salah satu pejabat
pemerintahan daerah Anbar, Athal Obeid Dhahi, mengatakan kalau kawasannya
membutuhkan hotel sebagai tempat penyelenggaraan acara besar, seperti pesta
pernikahan atau pesta lainnya.
Namun, rencana tersebut
tak mendapat dukungan dari masyarakat lokal.
"Saya jadi pesimis
dengan kedatangan turis ke sini, jika tak tersedia fasilitas dan layanan yang
mumpuni," kata Dhahi.
Mohammad Khalef memiliki
pendapat berbeda, dengan mengatakan bahwa tradisi menyambut tamu bisa kembali
mempersatukan kaum Syiah dan Sunni di Irak.
"Kemurahan hati
adalah keberanian. Keberadaan hotel bakal menghapus keberanian tersebut,"
pungkasnya.